Selasa, 01 Desember 2015

Makalah Judi Menurut Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Dalam pergaulan sehari-hari, manusia tidak bisa lepas dari norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Apabila semua angota masyarakat mentaati norma dan aturan tersebut, niscaya kehidupan masyarakat akan tenteram, aman, dan damai. Namun dalam kenyataannya, sebagian dari anggota masyarakat ada yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap norma dan aturan tersebut.salah satunya adalah perjudian, ini yang sering kita jumpai di masyarakat. Beberapa fenomena perilaku perjudian, sebagai salah satu penyakit sosial masyarakat yang akan diurai dan diharapkan memberikan kontribusi konstruktif dalam penyelesaiannya akan diterangkan dalam makalah ini, antara lain; Pertama,hukum perjudian di dalam islam Kedua, judi sebagai diasosiatif yang mengakibatkan terjadinya penyakit sosial masyarakat, dan ketiga upaya pendekatan untuk menyelesaikan dan merehabilitasi penyakit sosial judi.
B.           Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian perjudian ?
2.      Apa hukum perjudian dalam islam ?
3.      Apa saja yang termasuk dalam perjudian ?
4.      Apa dampak dari perjudian ?
5.      Bagaimana cara menghindari perjudian?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Perjudian
Perjudian adalah permainan di mana pemain bertaruh untuk memilih satu pilihan di antara beberapa pilihan dimana hanya satu pilihan saja yang benar dan menjadi pemenang.. Pemain yang kalah taruhan akan memberikan taruhannya kepada si pemenang. Peraturan dan jumlah taruhan ditentukan sebelum pertandingan dimulai.
Undian dapat dipandang sebagai perjudian dimana aturan mainnya adalah dengan cara menentukan suatu keputusan dengan pemilihan acak. Undian biasanya diadakan untuk menentukan pemenang suatu hadiah.
Contohnya adalah undian di mana peserta harus membeli sepotong tiket yang diberi nomor. Nomor tiket-tiket ini lantas secara acak ditarik dan nomor yang ditarik adalah nomor pemenang. Pemegang tiket dengan nomor pemenang ini berhak atas hadiah tertentu.
Meskipun masalah perjudian sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi baik dalam KUHP maupun UU No. 7 tahun 1974 ternyata masih mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan ini yang memungkinkan masih adanya celah kepada pelaku perjudian untuk melakukan perjudian. Adapun beberapa kelemahannya adalah :
Perundang-undangan hanya mengatur perjudian yang dijadikan mata pencaharian, sehingga kalau seseorang melakukan perjudian yang bukan sebagai mata pencaharian maka dapat dijadikan celah hukum yang memungkinkan perjudian tidak dikenakan hukuman pidana.

B.     Macam-Macam Judi
1.      Togel.
Permainan togel adalah permainan menebak angka yang akan dikeluarkan bandar / rumah judi pada saat tertentu dengan imbalan yang sangat fantastis tergantung ketepatan dan jumlah angka benar yang menjadi tebakan kita,togel banyak disebut toto gelap.

2.      Sabung Ayam.
Sabung Ayam adalah kegiatan mengadu keberanian dan daya tempur juga nyali dari ayam ayam yang menjadi jago atau gaco dengan cara mengadu dengan ayam jago atau gaco orang lain,kegiatan adu ayam belum tentu langsung menjadi kegiatan perjudian tergantung ada unsur taruhan atau tidak,karena ada orang yang mengadu ayam hanya untuk kesenangan atau malah karena adat istiadat yang turun temurun
3.      SDSB
Permainan ini sama dengan togel tapi sekarang SDSB sudah tidak lagi beraktifitas karena sudah ditutup oleh negara,awalnya SDSB ini untuk sumbangan olah raga liat saja kepanjangan dari SDSB yaitu Sumbangan Dana Sosial Berhadiah.
4.      Judi Kartu.
Permainan judi ini menggunakan media kartu untuk mengetahui siapa yang menang dan siapa yang kalah,banyak sekali jenis permainan judi kartu yang berkembang di masyarakat seperti judi menggunakan kartu Domino, Poker, Gaple, Domino.

C.    Hukum Judi dalam Islam
Dalam al-Qur'an, kata maysir disebutkan sabanyak tiga kali, yaitu dalam surat al-Baqaraħ (2) ayat 219, surat al-Mâ`idaħ (5) ayat 90 dan ayat 91. Ketiga ayat ini menyebutkan beberapa kebiasaan buruk yang berkembang pada masa jahiliyah, yaitukhamar, al-maysir, al-anshâb (berkorban untuk berhala), dan al-azlâm (mengundi nasib dengan menggunakan panah).
Penjelasan tersebut dilakukan dengan menggunakan jumlah khabariyyah dan jumlah insya`iyyah. Dengan penjelasan tersebut, sekaligus al-Qur'an sesungguhnya menetapkan hukum bagi perbuatan-perbuatan yang dijelaskan itu. Di dalam surat al-Baqaraħ (2) ayat 219 disebutkan sebagai berikut:
يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما ويسألونك ماذا ينفقون قل العفو كذلك يبين الله لكم الآيات لعلكم تتفكرون
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
Sehubungan dengan judi, ayat ini merupakan ayat pertama yang diturunkan untuk menjelaskan keberadaannya secara hukum dalam pandangan Islam. Setelah ayat ini, menurut al-Qurthubiy kemudian diturunkan ayat yang terdapat di dalam surat al-Ma'idah ayat 91 (tentang khamar ayat ini merupakan penjelasan ketiga setelah surat al-Nisa` ayat 43). Terakhir Allah menegaskan pelarangan judi dan khamar dalam surat al-Ma'idah ayat 90.
Al-Thabariy menjelaskan bahwa "dosa besar" (إثم كبير) yang terdapat pada judi yang dimaksud ayat di atas adalah perbuatan judi atau taruhan yang dilakukan seseorang akan menghalangi yang hak dan, konsekwensinya, ia melakukan kezaliman terhadap diri, harta dan keluarganya atau terhadap harta, keluarga dan orang lain.
Di dalam surat al-Mâ`idaħ (5) ayat 90 dan ayat 91 Allah berfirman sebagai berikut:
يا أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة والبغضاء في الخمر والميسر ويصدكم عن ذكر الله وعن الصلاة فهل أنتم منتهون
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.

Asbâb al-nuzûl ayat ini, seperti diceritakan oleh Thabariy, 'Umar berdoa "Ya Allah jelaskan buat kami tentang hukum khamar sejelas-jelasnya". Sehubungan dengan itu diturunkanlah ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 219 (يسألونك عن الخمر والميسر...). Setelah ayat itu turun, 'Umar masih berdoa agar Allah menjelaskan hukum khamar tersebut. Kemudian turunlah ayat yang terdapat dalam surat al-Nisa` ayat 43 (لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى...). Setelah ayat itu turun, Nabi menegaskan bahwa dilarang shalat orang yang sedang mabuk. Saat itu 'Umar masih berdoa agar Allah menjelaskan hukum khamar. Kemudian turunlah ayat dalam surat al-Ma'idah (يا أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر...). Ketika 'Umar mendengar ujung ayat itu (فهل أنتم منتهون), ia berkata kami berhenti, kami berhenti (انتهينا انتهينا).
Al-Nasfiy menceritakan asbâb al-nuzûl tiga rangkaian ayat tersebut dengan vesi yang sedikit berbeda. Menurutnya, setelah surat al-Baqarah ayat 219 diturunkan (يسئلونك...), 'Abd al-Rahman mengundang sejumlah orang untuk minum-minum sampai mereka mabuk. Setelah itu mereka melakukan shalat. Karena mabuk, di dalam shalatnya sang imam salah dalam membaca surat al-Kafirun (menjadi يا أيها الكافرون أعبد ما تعبدون). Setelah itu diturunkanlah ayat yang terdapat dalam surat al-Nisa` ayat 43 (لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى). Setelah ayat itu diturunkan 'Ityan bin Malik mengundang beberapa orang untuk minum-minum. Setelah minum sampai mabuk, mereka saling bertengkar dan berkelahi. Sehubungan dengan itulah 'Umar bin Khaththab berdoa kepada Allah agar menurunkan penjelasan tentang khamar. Setelah itu baru turun surat al-Maidah ayat 90-91 (إنما الخمر والميسر...فهل انتم منتهون). Setelah ayat itu diturunkan, barulah 'Umar berkata 'kami berhenti, ya Allah'.
Al-Syawkaniy menjelaskan bahwa pengharaman khamar dilakukan secara bertahap. Hal itu disebabkan karena kebiasaan meminum khamar tersebut di kalangan bangsa Arab sudah menjadi kebiasaan yang dipandang baik (syetan membuat mereka memandangnya baik). Ketika ayat pertama tentangnya diturunkan, sebagian umat Islam langsung meninggalkan kebiasaan tersebut, tapi sebagian lain masih tetap melakukannya. Kemudian ketika diturunkan ayat yang melarang melakukan shalat ketika sedang mabuk (tahap kedua), sebagian umat Islam yang masih meminumnya meninggalkan perbuatan itu, tapi masih tetap ada umat Islam yang meminumnya saat mereka tidak melakukan shalat (setelah shalat). Kemudian diturunkanlah surat al-Ma'idah ayat 90-91 yang secara tegas melarang perbuatan itu. Semenjak saat itu, semua orang mengetahui bahwa haram hukumnya meminum khamar. Sedemikian tegasnya pengharaman khamar, hingga sebagian sahabat mengatakan bahwa tidak ada yang lebih tegas pengharamannya selain meminum khamar.
Dalam uraian di atas, dan hampir dalam semua tafsir yang ada, sebab turunnya ayat itu bisa dikatakan selalu berkaitan dengan khamar; bukan berkaitan dengan maysir atau judi. Tapi berangkat dari penempatan urutan dan penggunaan huruf 'athaf yang terdapat di dalam ayat itu (huruf waw; و), maka dapat dipahami bahwa hukum yang berlaku terhadap khamar juga berlaku terhadap judi. Artinya, ketika khamar diharamkan dengan tegas, maka secara tidak langsung judi juga diharamkan dengan tegas. Dengan memperhatikan unsur-unsur pengharaman yang terdapat dalam judi, akan dijelaskan di bawah, dapat dipahami dan mestinya pengharaman judi harus lebih tegas dan lebih keras dibanding pengharaman khamar (dan riba).
Ibn Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa (إثم) adalah perbuatan salah yang berhubungan langsung atau berakibat pada pelakunya sendiri (الخطايا المتعلقة بالفاعل نفسه). Sebagai lawannya adalah al-bagy (البغي), yaitu perbuatan salah yang memberikan akibat (buruk) kepada orang orang lain atau orang banyak banyak (التعدي على الناس). Dalam konteks judi, menurut al-Alusiy kata tersebut berarti "penghalang dan jauh dari rasa ada (cukup)" (الحجاب والبعد عن الحضرة). Sedang kata rijs (الرجس) yang terdapat dalam ayat di atas secara syara', seperti disebutkan al-Syarbayniy, memiliki arti "najis yang secara ijma' mesti dihindari" (النجس صد عما عداها الإجماع). Tapi menurut al-Thabariy, kata tersebut, yang juga bisa dibaca atau ditulis dengan الرجز, berarti azab (العذاب).
Kata rijs ternyata juga digunakan al-Qur'an untuk patung, yaitu terdapat surat al-Hajj ayat 30 (...فاجتنبوا الرجس من الأوثان...). Seperti dikatakan Zamakhsyariy, tabiat dasar manusia adalah menghindari dan menjauhi sesuatu yang disebut keji (تنفرون بطباعكم عن الرجس وتجتنبونه), dan kekejian yang paling keji dalam pandangan agama adalah menyembah berhala. Dengan penyamaan itu, maka seharusnya para pelaku judi menjauhi perbuatan tersebut sama seperti menjauhi perbuatan menyembah berhala.
Lafal فاجتنبوه yang terdapat di dalam ayat itu, yang secara bahasa berarti jauhilah (أبعدوه), merupakan perintah Allah untuk menjauhi perbuatan-perbuatan yang disebutkan sebelumnya. Penggunaan lafal perintah untuk menjauhi itu sendiri memberikan konsekwensi bahwa perbuatan yang disuruh jauhi itu adalah perbuatan yang status hukumnya adalah haram. Malah, penggunaan lafal yang mengandung larangan dan ancaman ini memberikan konsekwensi bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang keharamannya sangat kuat.
Berdasarkan ketiga ayat itu, ulama fikih sependapat menetapkan bahwa al-maysiritu haram hukumnya. Akan tetapi, mereka berlainan pendapat mengenai ayat yang mengharamkannya. Abu Bakar al-Jashshas  berpendapat bahwa keharaman al-maysirini dipahami dari surat al-Baqaraħ (2) ayat 219. Dua ayat lainnya, yang terdapat dalam suratal-Mâ`idaħ (5), hanya memberikan pennjelasan tambahan bahwa al-maysir itu adalah salah satu perbuatan kotor yang hanya dilakukan oleh setan dan menumbuhkan beberapa dampak negatif, seperti permusuhan, saling membenci, serta kelalaian dari perbuatan mengingat Allah, serta melalaikan dari ibadah shalat. Menurutnya, dengan surat al-Baqaraħ (2) ayat 219 saja sudah memadai untuk mengharamkan khamar; walau ayat lain tidak diturunkan untuk menjelaskan hal sama. Karena di dalam ayat itu disebutkan bahwa al-maysir sebagai salah satu dosa besar dan setiap dosa besar itu hukumnya haram. Sebagai sebuah dosa besar, sudah barang tentu permainan jdui termasuk dalam kategori perbuatan yang keji. Sementara pengharaman terhadap perbuatan yang keji itu juga disebutkan Allah dalam suratal-A'raf ayat 33 berikut:
قل إنما حرم ربي الفواحش ما ظهر منها وما بطن والإثم والبغي بغير الحق وأن تشركوا بالله ما لم ينزل به سلطانا وأن تقولوا على الله ما لا تعلمون
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
Sedang Imam al-Qurthubiy dan Imam al-Syawkaniy berpendapat bahwa hukum al-maysir itu baru jelas keharamannya setelah turunnya surat al-Mâ`idaħ (5) ayat 90 dan 91. Menurut mereka, surat al-Baqaraħ (2) ayat 219 merupakan tahap awal pelaranganal-maysir sebagai dosa besar dan juga mengandung beberapa manfaat bagi manusia. Dengan pendapat seperti ini, sesungguhnya al-Qurthubiy dan al-Syawkaniy mengikuti alur pikir bahwa pengharaman juri itu dilakukan secara bertahap, melalui tiga ayat yang berbeda, bukan sekaligus dalam satu ayat.
Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa dengan turunnya ayat yang mengatakan bahwa judi itu adalah najis dan termasuk perbuatan setan, maka haramlah segala jenis judi, baik yang dikenal bangsa Arab pada waktu itu maupun yang tidak mereka kenal. Keharamannya disepakati oleh semua kaum muslimin, termasuk juga keharaman permainan lain, baik yang menggunakan taruhan maupun yang tidak memakai taruhan (بعوض وغير عوض), seperti permainan catur dan sebagainya, karena lafal maysir mencakup semua jenis permainan seperti itu.

D.    Jenis-Jenis Judi
Pada masa jahiliyah dikenal dua bentuk al-maysir, yaitu al-mukhâtharaħ (المخاطرة) dan al-tajzi`aħ (التجزئة). Dalam bentuk al-mukhâtharaħ perjudian dilakukan antara dua orang laki-laki atau lebih yang menempatkan harta dan isteri mereka masing-masing sebagai taruhan dalam suatu permainan. Orang yang berhasil memenangkan permainan itu berhak mengambil harta dan isteri dari pihak yang kalah. Harta dan isteri yang sudah menjadi milik pemenang itu dapat diperlakukannya sekehendak hati. Jika dia menyukai kecantikan perempuan itu, dia akan mengawininya, namun jika ia tidak menyukainya, perempuan itu dijadikannya sebagai budak atau gundik. Bentuk ini, seperti disebutkan oleh al-Jashshash, diriwayatkan oleh Ibn 'Abbas.
Al-Jashshash juga menceritakan bahwa sebelum ayat pelarangan judi diturunkan, Abu Bakar juga pernah mengadakan taruhan dengan orang-orang musyrik Mekkah. Taruhan itu dilakukan ketika orang-orang musyrik tersebut menertawakan ayat yang menjelaskan bahwa orang-orang Romawi akan menang setelah mereka mengalami kekalahan (surat al-Rum ayat 1-6). Padahal pada waktu ayat itu turun, bangsa Romawi baru saja mengalami kekalahan dalam peperangan menghadapi bangsa Persia Sasanid. Ketika Nabi mengetahui taruhan yang dilakukan Abu Bakar, beliau menyuruh Abu Bakar menambah taruhannya (beliau mengatakan: زد في الخطر). Beberapa tahun kemudian, ternyata bangsa Romawi mengalami kemenangan dalam perang menghadapi bangsa Persia, dan Abu Bakar menang dalam taruhan tersebut. Tapi kebolehan taruhan ini kemudian di-nasakh dengan turunnya ayat yang menegaskan haramnya permainan judi tersebut dengan segala bentuknya.
Dalam bentuk al-tajzi`aħ, seperti dikemukakan oleh Imam al-Qurthubiy, permainannya adalah sebagai berikut: Sebanyak 10 orang laki-laki bermain kartu yang terbuat dari potongan-potongan kayu (karena pada waktu itu belum ada kertas). Kartu yang disebut al-azlâm itu berjumlah 10 buah, yaitu al-faz berisi satu bagian, al-taw'am berisi dua bagian, al-raqib tiga bagian, al-halis empat bagian, al-nafis lima bagian, al-musbil enam bagian, dan al-mu'alif tujuh bagian, yang merupakan bagian terbanyak. Sedang kartu al-safih, al-manih dan al-waqd merupakan kartu kosong. Jadi jumlah keseluruhan dari 10 nama kartu itu adalah 28 buah. Kemudian seekor unta dipotong menjadi 28 bagian, sesuai dengan jumlah isi kartu tersebut. selanjutnya kartu dengan nama-nama sebanyak 10 buah itu dimasukkan ke dalam sebuah karung dan diserahkan kepada seseorang yang dapat dipercaya. Kartu itu kemudian dikocok dan dikeluarkan satu per satu hingga habis. Setiap peserta mengambil bagian dari daging unta itu sesuai dengan isi atau bagian yang tercantum dalam kartu yang diperolehnya. Mereka yang mendapatkan kartu kosong, yaitu tiga orang sesuai dengan jumlah kartu kosong, dinyaatakan sebagai pihak yang kalah dan merekalah yang harus membayar unta itu. Sedangkan mereka yang menang, sedikit pun tidak mengambil daging unta hasil kemenangan itu, melainkan seluruhnya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Mereka yang menang saling membanggakan diri dan membawa-bawa serta melibatkan pula suku atau kabilah mereka masing-masing. Di samping itu, mereka juga mengejek dan menghina pihak yang kalah dengan menyebut-nyebut dan melibatkan pula kabilah mereka. Tindakan ini selalu berakhir dengan perselisihan, percekcokan, bahkan saling membunuh dan peperangan.
Tentang lotre (al-yanatsîb), Muhamamd Abduh mengemukakan pendapatnya, dalam kiab Tafsîr al-Manâr juz II dengan sub-judul al-maysir al-yanatsib (judi lotre), adalah nama nama bagi kegiatan pengumpulan uang dalam jumlah besar yang dilakukan oleh pemerintah, yayasan atau organisasi dari ribuan orang. Sebagian kecil dari uang yang terkumpul itu diberikan kembali kepada beberapa orang, misalnya mendapat 10%, dan dibagikan melalui cara al-maysir (cara yang berlaku pada permainan judi), sedang sisanya dikuasai oleh penyelenggara dan digunakan untuk kepentingan umum. Caranya adalah dengan mencetak kartu atau kupon yang bentuknya mirip dengan mata uang. Setiap kupon yang disebut "kupon lotre ini dijual dengan harga tertentu dan diberi nomor dengan angka-angka tertentu serta dicantumkan pula jumlah uang yang akan diterima oleh pembelinya, jika ia beruntung.
Penentuan atas pemenang di antara pembeli kupon dilakukan melalui undian beberapa kali putaran. Para pembeli yang nomor kuponnya cocok dengan nomor yang keluar dalam undian itu dinyatakan sebagai pemenang dan berhak mendapatkan hadian uang sebanyak 10% dari hasil yang terkumpul. Undian ini dilaksanakan secara periodik, misalnya, sekali dalam sebulan dan waktunya juga sudah ditentukan. Sedangkan para pembeli kupon yang lain tidak mendapatkan apa-apa. Cara penetapan pemenang ini, menurut Abduh, mirip sekali dengan cara penarikan pemenang pada al-maysir bentuk al-tajzî`aħ.
Dalam pandangan Abduh, al-maysir al-yanatsib itu dengan jenis-jenis al-maysir yang lain tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan tidak menghalangi pelakunya dari perbuatan mengingat Allah dan mendirikan shalat. Para pembeli kupon lotre itu tidak berkumpul pada satu tempat, tetapi bahkan mereka berada di tempat-tempat yang berjauhan jaraknya dengan tempat penarikan undian itu. Untuk mengikuti undian itu, mereka tidak banyak melakukan kegiatan lain yang menjauhkan mereka dari zikir atau judi meja.Para pembeli yang tidak beruntung juga tidak mengetahui orang yang memakan hartanya, berbeda dengan pelaksanaan al-maysir jahiliyah atau judi meja. Akan tetapi, lanjut Abduh, dalam pelaksanaannya undian lotre ini terdapat akibat-akibat buruk seperti yang juga yang terdapat pada jenis unduian lainnya. Akibat-akibat dimaksud antara lain adalah kenyataan bahwa pelaksanaan undian lotre ini merupakan salah satu cara untuk mendapatkan harta orang lain secara tidak sah, yaitu tanpa adanya imbalan yang jelas, seperti pertukaran harta itu dengan benda lain atau dengan suatu jasa. Cara-cara seperti ini diharamkan oleh syarak.

E.     Akibat Perjudian
Dalam surat al-Baqaraħ (2) ayat 219, Allah SWT menjelaskan bahwa khamar dan al-maysir mengandung dosa besar dan juga beberapa manfaat bagi manusia. akan tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya. Manfaat yang dimaksud ayat itu, khususnya mengenai al-maysir, adalah manfaat yang hanya dinikmati oleh pihak yang menang, yaitu beralihnya kepemilikan sesuatu dari seseorang kepada orang lain tanpa usaha yang sulit. Kalaupun ada manfaat atau kesenangan lain yang ditimbulkannya, maka itu lebih banyak bersifat manfaat dan kesenangan semu.
Pada bentuk permainan al-mukhâtharaħ, pihak yang menang bisa memperoleh harta kekayaan yang dijadikan taruhan dengan mudah dan bisa pula menyalurkan nafsu biologisnya dengan isteri pihak yang kalah yang juga dijadikan sebagai taruhan. Sedang pada bentuk al-tajzi`aħ, pihak yang menang merasa bangga dan orang-orang miskin juga bisa menikmati daging unta yang dijadikan taruhan tersebut. Akan tetapi, al-maysir itu sendiri dipandang sebagai salah satu di antara dosa-dosa besar yang dilarang oleh agama Islam.
Penegasan yang dikemukakan pada suat al-Baqaraħ (2) ayat 219 bahwa dosa akibat dari al-maysir lebih besar daripada manfaatnya memperjelas akibat buruk yang ditimbulkannya. Di antara dosa atau risiko yang ditimbulkan oleh al-maysir itu dijelaskan dalam surat al-Mâ`idaħ (5) ayat 90 dan 91. Kedua ayat tersebut memandang bahwa al-maysir sebagai perbuatan setan yang wajib dijauhi oleh orang-orang yang beriman. Di samping itu, al-maysir juga dipergunakan oleh setan sebagai alat untuk menumbuhkan permusuhan dan kebencian di antara manusia, terutama para pihak yang terlibat, serta menghalangi konsentrasi pelakunya dari perbuatan mengingat Allah dan menunaikan shalat. Al-Alusiy menjelaskan bahwa kemudaratan yang dapat ditimbulkan oleh perjudian antara lain, selain perbuatan itu sendiri merupakan cara peralihan (memakan) harta dengan cara yang batil, adalah membuat para pecandunya memiliki kecenderungan untuk mencuri, menghancurkan harga diri, menyia-nyiakan keluarga, kurang pertimbangan dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk, berperangai keji, sangat mudah memusuhi orang lain.
Semua perbuatan itu sesungguhnya adalah kebiasaan-kebiasaan yang sangat tidak disenangi orang-orang yang berfikir secara sadar (normal), tapi orang yang sudah kecanduan dengan judi tidak menyadarinya, seolah-olah ia telah menjadi buta dan tuli. Selain itu, perjudian akan membuat pelakunya suka berangan-angan dengan taruhannya yang mungkin bisa memberikan keuntungan berlipat ganda .

F.     Menghidari Perjudian
1.      Hendaknya ikhlas karena Allah untuk benar-benar tidak melakukan perbuatan judi, dan memohon kepada-Nya setiap saat agar dijauhkan dari perbuatan tersebut.
2.      Meyakini bahwa perbuatan judi hukumnya haram. Setiap perbuatan yang haram bila dilanggar pasti akan membahayakan, baik di dunia maupun di akhirat. Allah 'Azza wa Jalla berfirman, artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khomer, berjudi, (berqurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk amalnya setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Maidah : 90)
3.      Hendaknya memahami bahwa bila penghasilannya haram maka do'anya tidak akan diterima atau dikabulkan oleh Alloh Subhana wa Ta'ala. Dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu 'Anhu ia berkata: Rosululloh Shollallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda, "Sesungguhnya Alloh itu baik. Dia tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Alloh telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sebagimana perintah-Nya kepada para Rosul. Alloh berfirman, 'Wahai para rosul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal sholih.' (QS. al-Mukminun : 51). Dan Dia berfirman, 'Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepada kalian.' (QS. al-Baqoroh : 172). Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo'a, "Wahai Robbku, wahai Robbku," sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan (perutnya) dikenyangkan dengan hal yang haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini dikabulkan do'anya." (HR. Muslim 3/85)
4.      Memahami bahwa penghasilannya dari hasil judinya itu tidak akan berbarokah.






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perilaku perjudian jelas sangat bertentangan dengan norma, nilai, dan hukum yang bersumber dari agama dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Motif berjudi sebenarnya terobsesi oleh adanya insentif ekonomi yang bagi pelaku diekspektasikan akan memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat maka dengan tercetuslah perilaku judi yang bila dianggap sebagai adiksi maka kemudian berubah menjadi kompulsif.
Individu yang melakukan tindakan berjudi terdorong motif untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya (utility maximitation) bagi kesejahteraannya. Sekuensial dari perilaku tersebut akan berefek kepada tindakan-tindakan yang menyimpang lainnya (disfungtional behavior), tidak lagi mematuhi pranata-pranata social, norma, nilai, dan hukum positif sehingga akan menimbulkan virus dalam masyarakat. Bagi kajian psikologi sosial, perilaku berjudi dapat dianggap sebagai gangguan kejiwaaan yang termasuk dalam Impulse Control Disorders bilamana perilaku tersebut cenderung melakukannya secara masif dan intens dan sifatnya menetap dan sulit untuk dikendalikan ketergantungan terhadap judi dapat dikategorikan sebagai adiksi kompulsif.
Perjudian merupakan penyakit sosial yang berimplikasi buruk terhadap lingkungan sosial masyarakat. Kemenangan yang diperoleh dari perjudian tidak akan bertahan lama justru akan berakibat pada pengrusakan karakter individu dan kehidupannya. Banyak sudah fakta menceritakan bahwa pemenang judi tidak selalu memiiki hidup yang sejahtera, sebagian besar mengalami kemiskinan yang begitu parah dan mengalami alianasi (keterasingan) dari keluarga dan masyarakat. Kehidupan yang semestinya dapat diperoleh dan dinikmati dengan keluarga dapat berubah menjadi keburukan. Benar adanya bilamana Allah dalam al-Quran surat al-Maidah [5]:90-91 menfirmankan bahwa judi adalah perilaku syaitan, bila tidak dijauhi maka akan menimbulkan permusuhan dan kebencian.


DAFTAR PUSTAKA
https://plus.google.com/113433339776683516327/posts/hWoqg76giF5
http://mbahdaur.blogspot.com/2012/05/macam-macam-perjudian-di- indonesia.html
Ali Hasan, Manjemen Bisnis Syari’ah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
Hamzah Yakub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, (Bandung: Diponegoro, 1984).
https://plus.google.com/113433339776683516327/posts/hWoqg76giF5, Dedy Ramses, Perjudian, (25 Desember 2012).
murdanitadulako.blogspot.com/2013/06/dasar-hukum-pengharaman-judi-dalam-islam.html, Murdanita, (13 Juni 2013).

http://indonesian.irib.ir/al-quran/-/asset_publisher/b9BB/content/peringatan-dalam-al-quran-minum-khamar-dan-bermain-judi, (25 Desember 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar