BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam pergaulan sehari-hari, manusia tidak bisa lepas dari
norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Apabila semua angota masyarakat
mentaati norma dan aturan tersebut, niscaya kehidupan masyarakat akan tenteram,
aman, dan damai. Namun dalam kenyataannya, sebagian dari anggota masyarakat ada
yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap norma dan aturan tersebut.salah
satunya adalah perjudian, ini yang sering kita jumpai di masyarakat. Beberapa
fenomena perilaku perjudian, sebagai salah satu penyakit sosial masyarakat yang
akan diurai dan diharapkan memberikan kontribusi konstruktif dalam
penyelesaiannya akan diterangkan dalam makalah ini, antara lain; Pertama,hukum
perjudian di dalam islam Kedua, judi sebagai diasosiatif yang mengakibatkan
terjadinya penyakit sosial masyarakat, dan ketiga upaya pendekatan untuk
menyelesaikan dan merehabilitasi penyakit sosial judi.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian perjudian ?
2. Apa
hukum perjudian dalam islam ?
3. Apa
saja yang termasuk dalam perjudian ?
4. Apa
dampak dari perjudian ?
5. Bagaimana
cara menghindari perjudian?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perjudian
Perjudian adalah permainan di mana pemain bertaruh untuk
memilih satu pilihan di antara beberapa pilihan dimana hanya satu pilihan saja
yang benar dan menjadi pemenang.. Pemain yang kalah taruhan akan memberikan
taruhannya kepada si pemenang. Peraturan dan jumlah taruhan ditentukan sebelum
pertandingan dimulai.
Undian dapat dipandang sebagai perjudian dimana aturan
mainnya adalah dengan cara menentukan suatu keputusan dengan pemilihan acak.
Undian biasanya diadakan untuk menentukan pemenang suatu hadiah.
Contohnya adalah undian di mana peserta harus membeli
sepotong tiket yang diberi nomor. Nomor tiket-tiket ini lantas secara acak ditarik
dan nomor yang ditarik adalah nomor pemenang. Pemegang tiket dengan nomor
pemenang ini berhak atas hadiah tertentu.
Meskipun masalah perjudian sudah diatur dalam peraturan
perundang-undangan, tetapi baik dalam KUHP maupun UU No. 7 tahun 1974 ternyata
masih mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan ini yang memungkinkan masih
adanya celah kepada pelaku perjudian untuk melakukan perjudian. Adapun beberapa
kelemahannya adalah :
Perundang-undangan hanya mengatur perjudian yang dijadikan
mata pencaharian, sehingga kalau seseorang melakukan perjudian yang bukan
sebagai mata pencaharian maka dapat dijadikan celah hukum yang memungkinkan
perjudian tidak dikenakan hukuman pidana.
B.
Macam-Macam
Judi
1. Togel.
Permainan togel adalah permainan menebak angka yang akan dikeluarkan
bandar / rumah judi pada saat tertentu dengan imbalan yang sangat fantastis
tergantung ketepatan dan jumlah angka benar yang menjadi tebakan kita,togel
banyak disebut toto gelap.
2. Sabung
Ayam.
Sabung Ayam adalah kegiatan mengadu keberanian dan daya
tempur juga nyali dari ayam ayam yang menjadi jago atau gaco dengan cara
mengadu dengan ayam jago atau gaco orang lain,kegiatan adu ayam belum tentu
langsung menjadi kegiatan perjudian tergantung ada unsur taruhan atau
tidak,karena ada orang yang mengadu ayam hanya untuk kesenangan atau malah
karena adat istiadat yang turun temurun
3. SDSB
Permainan ini sama dengan togel tapi sekarang SDSB sudah
tidak lagi beraktifitas karena sudah ditutup oleh negara,awalnya SDSB ini untuk
sumbangan olah raga liat saja kepanjangan dari SDSB yaitu Sumbangan Dana Sosial
Berhadiah.
4. Judi
Kartu.
Permainan judi ini menggunakan media kartu untuk mengetahui
siapa yang menang dan siapa yang kalah,banyak sekali jenis permainan judi kartu
yang berkembang di masyarakat seperti judi menggunakan kartu Domino, Poker, Gaple,
Domino.
C.
Hukum
Judi dalam Islam
Dalam al-Qur'an, kata maysir disebutkan sabanyak tiga kali,
yaitu dalam surat al-Baqaraħ (2) ayat 219, surat al-Mâ`idaħ (5) ayat 90 dan
ayat 91. Ketiga ayat ini menyebutkan beberapa kebiasaan buruk yang berkembang
pada masa jahiliyah, yaitukhamar, al-maysir, al-anshâb (berkorban untuk
berhala), dan al-azlâm (mengundi nasib dengan menggunakan panah).
Penjelasan tersebut dilakukan dengan menggunakan jumlah
khabariyyah dan jumlah insya`iyyah. Dengan penjelasan tersebut, sekaligus
al-Qur'an sesungguhnya menetapkan hukum bagi perbuatan-perbuatan yang
dijelaskan itu. Di dalam surat al-Baqaraħ (2) ayat 219 disebutkan sebagai
berikut:
يسألونك عن الخمر والميسر
قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما ويسألونك ماذا ينفقون قل العفو
كذلك يبين الله لكم الآيات لعلكم تتفكرون
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir,
Sehubungan dengan judi, ayat ini merupakan ayat pertama yang
diturunkan untuk menjelaskan keberadaannya secara hukum dalam pandangan Islam.
Setelah ayat ini, menurut al-Qurthubiy kemudian diturunkan ayat yang terdapat
di dalam surat al-Ma'idah ayat 91 (tentang khamar ayat ini merupakan penjelasan
ketiga setelah surat al-Nisa` ayat 43). Terakhir Allah menegaskan pelarangan
judi dan khamar dalam surat al-Ma'idah ayat 90.
Al-Thabariy menjelaskan bahwa "dosa besar" (إثم كبير)
yang terdapat pada judi yang dimaksud ayat di atas adalah perbuatan judi atau
taruhan yang dilakukan seseorang akan menghalangi yang hak dan, konsekwensinya,
ia melakukan kezaliman terhadap diri, harta dan keluarganya atau terhadap
harta, keluarga dan orang lain.
Di dalam surat al-Mâ`idaħ (5) ayat 90 dan ayat 91 Allah
berfirman sebagai berikut:
يا
أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه
لعلكم تفلحون إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة والبغضاء في الخمر والميسر ويصدكم
عن ذكر الله وعن الصلاة فهل أنتم منتهون
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
Asbâb al-nuzûl ayat ini, seperti diceritakan oleh Thabariy,
'Umar berdoa "Ya Allah jelaskan buat kami tentang hukum khamar
sejelas-jelasnya". Sehubungan dengan itu diturunkanlah ayat yang terdapat
dalam surat al-Baqarah ayat 219 (يسألونك عن الخمر والميسر...). Setelah ayat itu
turun, 'Umar masih berdoa agar Allah menjelaskan hukum khamar tersebut.
Kemudian turunlah ayat yang terdapat dalam surat al-Nisa` ayat 43 (لا تقربوا الصلاة
وأنتم سكارى...). Setelah ayat itu turun, Nabi menegaskan bahwa dilarang shalat
orang yang sedang mabuk. Saat itu 'Umar masih berdoa agar Allah menjelaskan
hukum khamar. Kemudian turunlah ayat dalam surat al-Ma'idah (يا أيها الذين آمنوا
إنما الخمر والميسر...). Ketika 'Umar mendengar ujung ayat itu (فهل أنتم منتهون),
ia berkata kami berhenti, kami berhenti (انتهينا انتهينا).
Al-Nasfiy menceritakan asbâb al-nuzûl tiga rangkaian ayat
tersebut dengan vesi yang sedikit berbeda. Menurutnya, setelah surat al-Baqarah
ayat 219 diturunkan (يسئلونك...), 'Abd al-Rahman mengundang sejumlah orang
untuk minum-minum sampai mereka mabuk. Setelah itu mereka melakukan shalat.
Karena mabuk, di dalam shalatnya sang imam salah dalam membaca surat al-Kafirun
(menjadi يا أيها الكافرون أعبد ما تعبدون). Setelah itu diturunkanlah ayat yang
terdapat dalam surat al-Nisa` ayat 43 (لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى). Setelah
ayat itu diturunkan 'Ityan bin Malik mengundang beberapa orang untuk
minum-minum. Setelah minum sampai mabuk, mereka saling bertengkar dan
berkelahi. Sehubungan dengan itulah 'Umar bin Khaththab berdoa kepada Allah
agar menurunkan penjelasan tentang khamar. Setelah itu baru turun surat
al-Maidah ayat 90-91 (إنما الخمر والميسر...فهل انتم منتهون). Setelah ayat itu
diturunkan, barulah 'Umar berkata 'kami berhenti, ya Allah'.
Al-Syawkaniy menjelaskan bahwa pengharaman khamar dilakukan
secara bertahap. Hal itu disebabkan karena kebiasaan meminum khamar tersebut di
kalangan bangsa Arab sudah menjadi kebiasaan yang dipandang baik (syetan
membuat mereka memandangnya baik). Ketika ayat pertama tentangnya diturunkan,
sebagian umat Islam langsung meninggalkan kebiasaan tersebut, tapi sebagian
lain masih tetap melakukannya. Kemudian ketika diturunkan ayat yang melarang
melakukan shalat ketika sedang mabuk (tahap kedua), sebagian umat Islam yang
masih meminumnya meninggalkan perbuatan itu, tapi masih tetap ada umat Islam yang
meminumnya saat mereka tidak melakukan shalat (setelah shalat). Kemudian
diturunkanlah surat al-Ma'idah ayat 90-91 yang secara tegas melarang perbuatan
itu. Semenjak saat itu, semua orang mengetahui bahwa haram hukumnya meminum
khamar. Sedemikian tegasnya pengharaman khamar, hingga sebagian sahabat
mengatakan bahwa tidak ada yang lebih tegas pengharamannya selain meminum
khamar.
Dalam uraian di atas, dan hampir dalam semua tafsir yang
ada, sebab turunnya ayat itu bisa dikatakan selalu berkaitan dengan khamar;
bukan berkaitan dengan maysir atau judi. Tapi berangkat dari penempatan urutan
dan penggunaan huruf 'athaf yang terdapat di dalam ayat itu (huruf waw; و),
maka dapat dipahami bahwa hukum yang berlaku terhadap khamar juga berlaku
terhadap judi. Artinya, ketika khamar diharamkan dengan tegas, maka secara
tidak langsung judi juga diharamkan dengan tegas. Dengan memperhatikan
unsur-unsur pengharaman yang terdapat dalam judi, akan dijelaskan di bawah,
dapat dipahami dan mestinya pengharaman judi harus lebih tegas dan lebih keras
dibanding pengharaman khamar (dan riba).
Ibn Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa (إثم)
adalah perbuatan salah yang berhubungan langsung atau berakibat pada pelakunya
sendiri (الخطايا المتعلقة بالفاعل نفسه). Sebagai lawannya adalah al-bagy (البغي),
yaitu perbuatan salah yang memberikan akibat (buruk) kepada orang orang lain
atau orang banyak banyak (التعدي على الناس). Dalam konteks judi, menurut
al-Alusiy kata tersebut berarti "penghalang dan jauh dari rasa ada
(cukup)" (الحجاب والبعد عن الحضرة). Sedang kata rijs (الرجس) yang terdapat
dalam ayat di atas secara syara', seperti disebutkan al-Syarbayniy, memiliki
arti "najis yang secara ijma' mesti dihindari" (النجس صد عما عداها الإجماع).
Tapi menurut al-Thabariy, kata tersebut, yang juga bisa dibaca atau ditulis
dengan الرجز, berarti azab (العذاب).
Kata rijs ternyata juga digunakan al-Qur'an untuk patung,
yaitu terdapat surat al-Hajj ayat 30 (...فاجتنبوا الرجس من الأوثان...). Seperti
dikatakan Zamakhsyariy, tabiat dasar manusia adalah menghindari dan menjauhi
sesuatu yang disebut keji (تنفرون بطباعكم عن الرجس وتجتنبونه), dan kekejian
yang paling keji dalam pandangan agama adalah menyembah berhala. Dengan
penyamaan itu, maka seharusnya para pelaku judi menjauhi perbuatan tersebut
sama seperti menjauhi perbuatan menyembah berhala.
Lafal فاجتنبوه yang terdapat di dalam ayat itu, yang secara
bahasa berarti jauhilah (أبعدوه), merupakan perintah Allah untuk menjauhi
perbuatan-perbuatan yang disebutkan sebelumnya. Penggunaan lafal perintah untuk
menjauhi itu sendiri memberikan konsekwensi bahwa perbuatan yang disuruh jauhi
itu adalah perbuatan yang status hukumnya adalah haram. Malah, penggunaan lafal
yang mengandung larangan dan ancaman ini memberikan konsekwensi bahwa perbuatan
itu merupakan perbuatan yang keharamannya sangat kuat.
Berdasarkan ketiga ayat itu, ulama fikih sependapat
menetapkan bahwa al-maysiritu haram hukumnya. Akan tetapi, mereka berlainan
pendapat mengenai ayat yang mengharamkannya. Abu Bakar al-Jashshas berpendapat bahwa keharaman al-maysirini
dipahami dari surat al-Baqaraħ (2) ayat 219. Dua ayat lainnya, yang terdapat
dalam suratal-Mâ`idaħ (5), hanya memberikan pennjelasan tambahan bahwa
al-maysir itu adalah salah satu perbuatan kotor yang hanya dilakukan oleh setan
dan menumbuhkan beberapa dampak negatif, seperti permusuhan, saling membenci,
serta kelalaian dari perbuatan mengingat Allah, serta melalaikan dari ibadah
shalat. Menurutnya, dengan surat al-Baqaraħ (2) ayat 219 saja sudah memadai
untuk mengharamkan khamar; walau ayat lain tidak diturunkan untuk menjelaskan
hal sama. Karena di dalam ayat itu disebutkan bahwa al-maysir sebagai salah
satu dosa besar dan setiap dosa besar itu hukumnya haram. Sebagai sebuah dosa
besar, sudah barang tentu permainan jdui termasuk dalam kategori perbuatan yang
keji. Sementara pengharaman terhadap perbuatan yang keji itu juga disebutkan
Allah dalam suratal-A'raf ayat 33 berikut:
قل إنما حرم ربي الفواحش
ما ظهر منها وما بطن والإثم والبغي بغير الحق وأن تشركوا بالله ما لم ينزل به سلطانا
وأن تقولوا على الله ما لا تعلمون
Katakanlah:
"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui."
Sedang Imam al-Qurthubiy dan Imam al-Syawkaniy berpendapat
bahwa hukum al-maysir itu baru jelas keharamannya setelah turunnya surat
al-Mâ`idaħ (5) ayat 90 dan 91. Menurut mereka, surat al-Baqaraħ (2) ayat 219
merupakan tahap awal pelaranganal-maysir sebagai dosa besar dan juga mengandung
beberapa manfaat bagi manusia. Dengan pendapat seperti ini, sesungguhnya
al-Qurthubiy dan al-Syawkaniy mengikuti alur pikir bahwa pengharaman juri itu
dilakukan secara bertahap, melalui tiga ayat yang berbeda, bukan sekaligus
dalam satu ayat.
Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa dengan turunnya ayat yang
mengatakan bahwa judi itu adalah najis dan termasuk perbuatan setan, maka
haramlah segala jenis judi, baik yang dikenal bangsa Arab pada waktu itu maupun
yang tidak mereka kenal. Keharamannya disepakati oleh semua kaum muslimin,
termasuk juga keharaman permainan lain, baik yang menggunakan taruhan maupun yang
tidak memakai taruhan (بعوض وغير عوض), seperti permainan catur dan sebagainya,
karena lafal maysir mencakup semua jenis permainan seperti itu.
D.
Jenis-Jenis
Judi
Pada masa jahiliyah dikenal dua bentuk al-maysir, yaitu
al-mukhâtharaħ (المخاطرة) dan al-tajzi`aħ (التجزئة). Dalam bentuk
al-mukhâtharaħ perjudian dilakukan antara dua orang laki-laki atau lebih yang
menempatkan harta dan isteri mereka masing-masing sebagai taruhan dalam suatu
permainan. Orang yang berhasil memenangkan permainan itu berhak mengambil harta
dan isteri dari pihak yang kalah. Harta dan isteri yang sudah menjadi milik
pemenang itu dapat diperlakukannya sekehendak hati. Jika dia menyukai
kecantikan perempuan itu, dia akan mengawininya, namun jika ia tidak
menyukainya, perempuan itu dijadikannya sebagai budak atau gundik. Bentuk ini,
seperti disebutkan oleh al-Jashshash, diriwayatkan oleh Ibn 'Abbas.
Al-Jashshash juga menceritakan bahwa sebelum ayat pelarangan
judi diturunkan, Abu Bakar juga pernah mengadakan taruhan dengan orang-orang
musyrik Mekkah. Taruhan itu dilakukan ketika orang-orang musyrik tersebut
menertawakan ayat yang menjelaskan bahwa orang-orang Romawi akan menang setelah
mereka mengalami kekalahan (surat al-Rum ayat 1-6). Padahal pada waktu ayat itu
turun, bangsa Romawi baru saja mengalami kekalahan dalam peperangan menghadapi
bangsa Persia Sasanid. Ketika Nabi mengetahui taruhan yang dilakukan Abu Bakar,
beliau menyuruh Abu Bakar menambah taruhannya (beliau mengatakan: زد في الخطر).
Beberapa tahun kemudian, ternyata bangsa Romawi mengalami kemenangan dalam
perang menghadapi bangsa Persia, dan Abu Bakar menang dalam taruhan tersebut.
Tapi kebolehan taruhan ini kemudian di-nasakh dengan turunnya ayat yang
menegaskan haramnya permainan judi tersebut dengan segala bentuknya.
Dalam bentuk al-tajzi`aħ, seperti dikemukakan oleh Imam
al-Qurthubiy, permainannya adalah sebagai berikut: Sebanyak 10 orang laki-laki
bermain kartu yang terbuat dari potongan-potongan kayu (karena pada waktu itu
belum ada kertas). Kartu yang disebut al-azlâm itu berjumlah 10 buah, yaitu
al-faz berisi satu bagian, al-taw'am berisi dua bagian, al-raqib tiga bagian,
al-halis empat bagian, al-nafis lima bagian, al-musbil enam bagian, dan
al-mu'alif tujuh bagian, yang merupakan bagian terbanyak. Sedang kartu
al-safih, al-manih dan al-waqd merupakan kartu kosong. Jadi jumlah keseluruhan
dari 10 nama kartu itu adalah 28 buah. Kemudian seekor unta dipotong menjadi 28
bagian, sesuai dengan jumlah isi kartu tersebut. selanjutnya kartu dengan
nama-nama sebanyak 10 buah itu dimasukkan ke dalam sebuah karung dan diserahkan
kepada seseorang yang dapat dipercaya. Kartu itu kemudian dikocok dan
dikeluarkan satu per satu hingga habis. Setiap peserta mengambil bagian dari
daging unta itu sesuai dengan isi atau bagian yang tercantum dalam kartu yang
diperolehnya. Mereka yang mendapatkan kartu kosong, yaitu tiga orang sesuai
dengan jumlah kartu kosong, dinyaatakan sebagai pihak yang kalah dan merekalah
yang harus membayar unta itu. Sedangkan mereka yang menang, sedikit pun tidak
mengambil daging unta hasil kemenangan itu, melainkan seluruhnya dibagi-bagikan
kepada orang-orang miskin. Mereka yang menang saling membanggakan diri dan
membawa-bawa serta melibatkan pula suku atau kabilah mereka masing-masing. Di
samping itu, mereka juga mengejek dan menghina pihak yang kalah dengan
menyebut-nyebut dan melibatkan pula kabilah mereka. Tindakan ini selalu
berakhir dengan perselisihan, percekcokan, bahkan saling membunuh dan
peperangan.
Tentang lotre (al-yanatsîb), Muhamamd Abduh mengemukakan
pendapatnya, dalam kiab Tafsîr al-Manâr juz II dengan sub-judul al-maysir
al-yanatsib (judi lotre), adalah nama nama bagi kegiatan pengumpulan uang dalam
jumlah besar yang dilakukan oleh pemerintah, yayasan atau organisasi dari
ribuan orang. Sebagian kecil dari uang yang terkumpul itu diberikan kembali
kepada beberapa orang, misalnya mendapat 10%, dan dibagikan melalui cara
al-maysir (cara yang berlaku pada permainan judi), sedang sisanya dikuasai oleh
penyelenggara dan digunakan untuk kepentingan umum. Caranya adalah dengan
mencetak kartu atau kupon yang bentuknya mirip dengan mata uang. Setiap kupon
yang disebut "kupon lotre ini dijual dengan harga tertentu dan diberi
nomor dengan angka-angka tertentu serta dicantumkan pula jumlah uang yang akan
diterima oleh pembelinya, jika ia beruntung.
Penentuan atas pemenang di antara pembeli kupon dilakukan
melalui undian beberapa kali putaran. Para pembeli yang nomor kuponnya cocok
dengan nomor yang keluar dalam undian itu dinyatakan sebagai pemenang dan berhak
mendapatkan hadian uang sebanyak 10% dari hasil yang terkumpul. Undian ini
dilaksanakan secara periodik, misalnya, sekali dalam sebulan dan waktunya juga
sudah ditentukan. Sedangkan para pembeli kupon yang lain tidak mendapatkan
apa-apa. Cara penetapan pemenang ini, menurut Abduh, mirip sekali dengan cara
penarikan pemenang pada al-maysir bentuk al-tajzî`aħ.
Dalam pandangan Abduh, al-maysir al-yanatsib itu dengan
jenis-jenis al-maysir yang lain tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan
tidak menghalangi pelakunya dari perbuatan mengingat Allah dan mendirikan
shalat. Para pembeli kupon lotre itu tidak berkumpul pada satu tempat, tetapi
bahkan mereka berada di tempat-tempat yang berjauhan jaraknya dengan tempat
penarikan undian itu. Untuk mengikuti undian itu, mereka tidak banyak melakukan
kegiatan lain yang menjauhkan mereka dari zikir atau judi meja.Para pembeli
yang tidak beruntung juga tidak mengetahui orang yang memakan hartanya, berbeda
dengan pelaksanaan al-maysir jahiliyah atau judi meja. Akan tetapi, lanjut
Abduh, dalam pelaksanaannya undian lotre ini terdapat akibat-akibat buruk
seperti yang juga yang terdapat pada jenis unduian lainnya. Akibat-akibat
dimaksud antara lain adalah kenyataan bahwa pelaksanaan undian lotre ini
merupakan salah satu cara untuk mendapatkan harta orang lain secara tidak sah,
yaitu tanpa adanya imbalan yang jelas, seperti pertukaran harta itu dengan
benda lain atau dengan suatu jasa. Cara-cara seperti ini diharamkan oleh
syarak.
E.
Akibat
Perjudian
Dalam surat al-Baqaraħ (2) ayat 219, Allah SWT menjelaskan
bahwa khamar dan al-maysir mengandung dosa besar dan juga beberapa manfaat bagi
manusia. akan tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya. Manfaat yang dimaksud
ayat itu, khususnya mengenai al-maysir, adalah manfaat yang hanya dinikmati
oleh pihak yang menang, yaitu beralihnya kepemilikan sesuatu dari seseorang
kepada orang lain tanpa usaha yang sulit. Kalaupun ada manfaat atau kesenangan
lain yang ditimbulkannya, maka itu lebih banyak bersifat manfaat dan kesenangan
semu.
Pada bentuk permainan al-mukhâtharaħ, pihak yang menang bisa
memperoleh harta kekayaan yang dijadikan taruhan dengan mudah dan bisa pula
menyalurkan nafsu biologisnya dengan isteri pihak yang kalah yang juga
dijadikan sebagai taruhan. Sedang pada bentuk al-tajzi`aħ, pihak yang menang
merasa bangga dan orang-orang miskin juga bisa menikmati daging unta yang
dijadikan taruhan tersebut. Akan tetapi, al-maysir itu sendiri dipandang
sebagai salah satu di antara dosa-dosa besar yang dilarang oleh agama Islam.
Penegasan yang dikemukakan pada suat al-Baqaraħ (2) ayat 219
bahwa dosa akibat dari al-maysir lebih besar daripada manfaatnya memperjelas
akibat buruk yang ditimbulkannya. Di antara dosa atau risiko yang ditimbulkan
oleh al-maysir itu dijelaskan dalam surat al-Mâ`idaħ (5) ayat 90 dan 91. Kedua
ayat tersebut memandang bahwa al-maysir sebagai perbuatan setan yang wajib
dijauhi oleh orang-orang yang beriman. Di samping itu, al-maysir juga
dipergunakan oleh setan sebagai alat untuk menumbuhkan permusuhan dan kebencian
di antara manusia, terutama para pihak yang terlibat, serta menghalangi
konsentrasi pelakunya dari perbuatan mengingat Allah dan menunaikan shalat.
Al-Alusiy menjelaskan bahwa kemudaratan yang dapat ditimbulkan oleh perjudian
antara lain, selain perbuatan itu sendiri merupakan cara peralihan (memakan)
harta dengan cara yang batil, adalah membuat para pecandunya memiliki
kecenderungan untuk mencuri, menghancurkan harga diri, menyia-nyiakan keluarga,
kurang pertimbangan dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk, berperangai
keji, sangat mudah memusuhi orang lain.
Semua perbuatan itu sesungguhnya adalah kebiasaan-kebiasaan
yang sangat tidak disenangi orang-orang yang berfikir secara sadar (normal),
tapi orang yang sudah kecanduan dengan judi tidak menyadarinya, seolah-olah ia
telah menjadi buta dan tuli. Selain itu, perjudian akan membuat pelakunya suka
berangan-angan dengan taruhannya yang mungkin bisa memberikan keuntungan
berlipat ganda .
F.
Menghidari
Perjudian
1. Hendaknya
ikhlas karena Allah untuk benar-benar tidak melakukan perbuatan judi, dan
memohon kepada-Nya setiap saat agar dijauhkan dari perbuatan tersebut.
2. Meyakini
bahwa perbuatan judi hukumnya haram. Setiap perbuatan yang haram bila dilanggar
pasti akan membahayakan, baik di dunia maupun di akhirat. Allah 'Azza wa Jalla
berfirman, artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khomer, berjudi, (berqurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji yang termasuk amalnya setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Maidah : 90)
3. Hendaknya
memahami bahwa bila penghasilannya haram maka do'anya tidak akan diterima atau
dikabulkan oleh Alloh Subhana wa Ta'ala. Dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu 'Anhu
ia berkata: Rosululloh Shollallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda,
"Sesungguhnya Alloh itu baik. Dia tidak menerima sesuatu kecuali yang
baik. Dan sesungguhnya Alloh telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin
sebagimana perintah-Nya kepada para Rosul. Alloh berfirman, 'Wahai para rosul,
makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal sholih.' (QS.
al-Mukminun : 51). Dan Dia berfirman, 'Wahai orang-orang yang beriman, makanlah
dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepada kalian.' (QS. al-Baqoroh :
172). Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan
perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya
ke langit seraya berdo'a, "Wahai Robbku, wahai Robbku," sementara
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan (perutnya)
dikenyangkan dengan hal yang haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini
dikabulkan do'anya." (HR. Muslim 3/85)
4. Memahami
bahwa penghasilannya dari hasil judinya itu tidak akan berbarokah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perilaku perjudian jelas sangat bertentangan dengan norma,
nilai, dan hukum yang bersumber dari agama dan hukum positif yang berlaku di
Indonesia. Motif berjudi sebenarnya terobsesi oleh adanya insentif ekonomi yang
bagi pelaku diekspektasikan akan memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat maka
dengan tercetuslah perilaku judi yang bila dianggap sebagai adiksi maka
kemudian berubah menjadi kompulsif.
Individu yang melakukan tindakan berjudi terdorong motif
untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya (utility maximitation) bagi
kesejahteraannya. Sekuensial dari perilaku tersebut akan berefek kepada
tindakan-tindakan yang menyimpang lainnya (disfungtional behavior), tidak lagi
mematuhi pranata-pranata social, norma, nilai, dan hukum positif sehingga akan
menimbulkan virus dalam masyarakat. Bagi kajian psikologi sosial, perilaku
berjudi dapat dianggap sebagai gangguan kejiwaaan yang termasuk dalam Impulse
Control Disorders bilamana perilaku tersebut cenderung melakukannya secara
masif dan intens dan sifatnya menetap dan sulit untuk dikendalikan
ketergantungan terhadap judi dapat dikategorikan sebagai adiksi kompulsif.
Perjudian merupakan penyakit sosial yang berimplikasi buruk
terhadap lingkungan sosial masyarakat. Kemenangan yang diperoleh dari perjudian
tidak akan bertahan lama justru akan berakibat pada pengrusakan karakter
individu dan kehidupannya. Banyak sudah fakta menceritakan bahwa pemenang judi
tidak selalu memiiki hidup yang sejahtera, sebagian besar mengalami kemiskinan
yang begitu parah dan mengalami alianasi (keterasingan) dari keluarga dan
masyarakat. Kehidupan yang semestinya dapat diperoleh dan dinikmati dengan
keluarga dapat berubah menjadi keburukan. Benar adanya bilamana Allah dalam
al-Quran surat al-Maidah [5]:90-91 menfirmankan bahwa judi adalah perilaku
syaitan, bila tidak dijauhi maka akan menimbulkan permusuhan dan kebencian.
DAFTAR PUSTAKA
https://plus.google.com/113433339776683516327/posts/hWoqg76giF5
http://mbahdaur.blogspot.com/2012/05/macam-macam-perjudian-di-
indonesia.html
Ali
Hasan, Manjemen Bisnis Syari’ah,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
Hamzah
Yakub, Kode Etik Dagang Menurut Islam,
(Bandung: Diponegoro, 1984).
https://plus.google.com/113433339776683516327/posts/hWoqg76giF5,
Dedy Ramses, Perjudian, (25 Desember 2012).
murdanitadulako.blogspot.com/2013/06/dasar-hukum-pengharaman-judi-dalam-islam.html,
Murdanita, (13 Juni 2013).
http://indonesian.irib.ir/al-quran/-/asset_publisher/b9BB/content/peringatan-dalam-al-quran-minum-khamar-dan-bermain-judi,
(25 Desember 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar