BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Makin
derasnya arus globalisasi yang menerjang berbagai belahan dunia dewasa kini,
menuntut setiap bangsa di dunia untuk tetap mempertahankan eksistensinya dalam
percaturan politik dunia. Ditunjang dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, menyebabkan arus globalisasi ini mudah memasuki sendi – sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika suatu bangsa tidak mampu mempertahankan
eksistensinya, tentunya bangsa tersebut lambat laun akan tenggelam bahkan tidak
menutup kemungkinan bangsa tersebut akan musnah dari peradaban dunia. Dan tentunya, untuk dapat tetap
mempertahankan eksistensi bangsa dalam percaturan politik dunia, bukanlah hal
yang mudah. Perlu suatu usaha untuk menunjukkan jati diri bangsanya kepada
dunia, sehingga tidak terus menerus dipandang sebelah mata. Tak sekadar itu,
bahkan akan timbul kecenderungan untuk berkembang menjadi bangsa yang kreatif.
Jati diri itupun harus disesuaikan kembali dengan kepribadian bangsa, terutama
bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama dan ras. Apalagi di era
globalisasi ini penuh dengan tantangan, yang mampu menghancurkan rasa
nasionalisme, sehingga perlu dibangkitkan kembali kesadaran berbangsa dan
bernegara.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
uraian latar belakang tersebut, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
1 .
Apakah pengertian dari identitas nasional?
2 .
Apakah faktor – faktor pendukung kelahiran
identitas nasional?
3 .
Bagaimana peran Pancasila sebagai kepribadian
dan identitas nasional?
4 .
Bagaimana keberadaan pancasila sebagai identitas
nasional dalam era reformasi dan globalisasi?
C.
TUJUAN
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, didapatkan tujuan pembuatan makalah ini adalah :
1 .
Mengetahui pengertian dari Identitas Nasional.
2 .
Mengetahui faktor-faktor pendukung kelahiran
Identitas Nasional.
3 .
Mengetahui Pancasila sebagai kepribadian dan
Identitas Nasional.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Identitas Nasional
Kata
identitas berasal dari bahasa inggris identity yang memiliki pengertian harfiah
ciri-ciri, tanda-tanda atau jatidiri yang melekat pada seseorang atau sesuatu
yang membedakannya dengan yang lain. Dalam konteks antropologi, identitas
adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi
sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri, atau negara
sendiri. Mengacu pada pengertian ini, isentitas tidak terbatas pada individu
semata tetapi berlaku pula pada suatu kelompok.
Sedangkan
kata nasional merupakan identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang
lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya,
agama dan bahasa maupun non fisik seperti keinginan, cita-cita, dan tujuan.
Himpunan kelompok – kelompok inilah yang kemudian disebut dengan istilah
identitas bangsa atau identitas nasional yang pada akhirnya melahirkan tindakan
kelompok (collective action) yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau
pergerakan-pergerakan yang diberi atribut-atribut nasional. Kata nasional
sendiri tidak bisa dipisahkan dari kemunculan konsep nasionalisme sebagaimana
akan dijelaskan kemudian.
Istilah
“identitas nasional” secara terminologis diartikan sebagai suatu ciri yang
dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut
dengan bangsa lain. Berdasarkan pengertian tersebut, maka setiap bangsa di
dunia ini akan memiliki identitas sendiri – sendiri sesuai dengan keunikan,
sifat, ciri – ciri serta karakter dari bangsa tersebut yang juga sangat
ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis.
Dimana pada dasarnya identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan
dengan jati diri suatu bangsa atau yang lebih populer disebut sebagai
kepribadian suatu bangsa.
Kepribadian
sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitas dari faktor – faktor
biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu.
Tingkah laku terdiri dari kebiasaan, sikap, sifat – sifat karakter yang berada
pada seseorang sehingga seseorang tersebut berbeda dengan orang yang lainnya.
Oleh karena itu kepribadian akan tercermin dari keseluruhan tingkah laku
seseorang dalam hubungan dengan manusia lain.
Jikalau
kepribadian sebagai suatu identitas dari suatu bangsa, maka persoalannya adalah
bagaimana pengertian suatu bangsa itu. Bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok
besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya, sehingga
mempunyai watak atau karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta
mendiami suatu wilayah tertentu sebagai suatu kesatuan nasional.
B.
Faktor-Faktor
Pendukung Kelahiran Identitas Nasional
Kelahiran
identitas nasional suatu bangsa memiliki sifat, ciri khas, serta keunikan
sendiri – sendiri, yang sangat ditentukan oleh faktor – faktor yang mendukung
kelahiran identitas nasional tersebut. Adapun faktor – faktor yang mendukung
kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia, meliputi :
1 .
Faktor
obyektif
Faktor
obyektif sendiri meliputi faktor geografis, ekologis dan demografis. Kondisi geografis
– ekologis yang membentuk Indonesia sebagai wilayah kepulauan yang beriklim
tropis dan terletak di persimpangan jalan komunikasi antarwilayah dunia di Asia
Tenggara, ikut mempengaruhi perkembangan kehidupan demografis, ekonomis, sosial
dan kultural bangsa Indonesia.
2 .
Faktor
subyektif
Faktor
subyektif meliputi faktor historis, sosial, politik, dan kebudayaan yang
dimiliki bangsa Indonesia. Faktor historis ini mempengaruhi proses pembentukan
masyarakat dan bangsa Indonesia, beserta identitasnya, melalui interaksi
berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Hasil dari interaksi dari berbagai
faktor tersebut melahirkan proses pembentukan masyarakat, bangsa, dan negara
berserta identitas bangsa Indonesia, yang muncul tatkala nasionalisme
berkembang di indonesia pada awal abad XX.
Robert de Ventos, sebagaimana
dikutif Manuel Castells dalam bukunya, The Power of Identity[1], mengemukakan
teori tentang munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi
historis antara empat faktor penting yaitu :
1 .
Faktor
Primer
Mencakup
etnisitas, teritorial, bahasa, agama, dan yang sejenisnya. Bagi bangsa
Indonesia yang tersusun atas berbagai macam etnis, bahasa, agama, wilayah serta
bahasa daerah, merupakan suatu kesatuan meskipun berbeda – beda dengan kekhasan
masing – masing. Unsur – unsur yang beranekaragam yang masing – masing memiliki
ciri khasnya tersendiri menyatukan diri dalam suatu persekutuan hidup bersama
yaitu bangsa Indonesia. Namun, kesatuan ini tidaklah menghilangkan
keberanekaragaman, dan inilah yang dikenal dengan “Bhineka Tunggal Ika”.
2 .
Faktor
Pendorong
Pembangunan
komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembangunan
lainnya ikut mendorong munculnya identitas nasional suatu bangsa. Dalam
hubungan ini bagi suatu bangsa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
pembangunan negara dan bangsa juga merupakan identitas nasional yang bersifat
dinamis. Oleh karenanya, prose pembentukan identitas dinamis ini sangat
ditentukan oleh tingkat kemampuan dan prestasi bangsa Indonesia dalam membangun
bangsa dan negaranya. Dimana dalam hal ini, sangat diperlukan persatuan dan
kesatuan bangsa, serta langkah yang sama untuk memajukan bangsa dan negara
Indonesia.
3 .
Faktor
Penarik
Kodifikasi
bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi dan pemantapan sistem
pendidikan nasional memiliki partisipasi terhadap terbentuknya identitas
nasional. Bagi bangsa Indonesia unsur bahasa merupakan salah satu pemersatu
persatuan dan kesatuan nasional, sehingga bahasa Indonesia telah menjadi bahasa
resmi negara dan bangsa Indonesia. Bahasa melayu dipilih sebagai bahasa antar
etnis yang ada di indonesia, meskipun masing – masing etnis atau daerah
memiliki bahasa daerah masing – masing. Demikian pula menyangkut birokrasi
serta pendidikan nasional telah dikembangkan sedemikian rupa meskipun sampai
saat ini masih senantiasa dikembangkan.
4 .
Faktor
Reaktif
Penindasan,
dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat
ikut mendukung terbentuknya identitas nasional. Bangsa Indonesia yang hampir
tiga setengah abad dikuasai oleh bangsa lain sangat dominan dalam mewujudkan
faktor reaktif melalui memori kolektif rakyat Indonesia. Penderitaan dan
kesengsaraan hidup serta semangat bersama dalam memperjuangkan kemerdekaan
merupakan faktor yang sangat strategis dalam membentuk memori kolektif rakyat.
Semangat perjuangan, pengorbanan, menegakkan kebenaran dapat merupakan
identitas untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.
Pencarian identitas nasional bangsa
Indonesia pada dasarnya melekat erat dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk
membangun bangsa dan negara dengan konsep nama Indonesia. Bangsa dan negara ini
di bangun dari unsur – unsur masyarakat lama dan dibangun menjadi suatu
kesatuan bangsa dan negara dengan prinsip nasionalisme modern. Oleh karena itu,
pembentukan identitas nasional Indonesia melekat erat dengan unsur – unsur
lainnya, seperti sosial, ekonomi, budaya, etnis, agama serta geografis yang
saling berkaitan dan terbentuk melalui suatu proses yang cukup panjang. Berikut
ini unsur – unsur yang mendukung terbentuknya identitas nasional suatu bangsa,
yaitu :
a .
Suku
Bangsa
Suku
bangsa adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif(ada sejak
lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia
terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompo etnis dengan tidak kurang dari
300 dialek bahasa. Populasi penduduk Indonesia saat ini diperkirakan mencapai
210 juta. Dari jumlah tersebut diperkirakan separuhnya beretnis Jawa. Sisanya
terdiri dari etnis-etnis yang mendiami kepulauan diluar Jawa seperti suku
Makasar-Bugis (3,68%), Batak (2,04%), Bali (1,88%), Aceh (1,4%) dan suku-suku
lainnya. Mereka mendiami daerah-daerah tertentu sehingga mereka dapat dikenali
dari daerah mana asalnya. Etnis Tionghoa hanya berjumlah 2,8% dari populasi
Indonesia, tetapi mereka menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia. Mayoritas
dari mereka bermukim di perkotaan.
b .
Agama
Bangsa
Indonesia dikenal sebagai masyarakat agamis. Agama-agama yang berkembang di
nusantara adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama
Kong Hu Cu pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama resmi negara. Tetapi
sejak pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, istilah Agama resmi negara
dihapuskan.
Dari agama-agama di atas, agama
Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia. Dalam Islam
terdapat banyak golongan dan kelompok pemahaman misalnya kelompok Islam santri
untuk menunjukan keislaman yang kuat dan Islam Abangan atau Islam Nominal bagi
masyarakat Islam di daerah Jawa. Sedangkan kalangan di kelompok santri sendiri
perbedaan pemahaman dan pengamalan Islam dikenal dengan kelompok modernis dan
tradisionalis. Kelompok pertama lebih berorientasi pada pencaharian tafsir baru
ijtihad atas wahyu Allah. Sedangkan kelompok tradisionalis lebih menyandarkan
pengalaman agamanya pada pendapat-pendapat ulama.
Karena Indonesia merupakan negara
yang multi agama, maka Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang rawan
terhadap disintegrasi bangsa. Banyak kasus disintegrasi bangsa yang terjadi
akhir-akhir ini melibatkan agama sebagai faktor penyebabnya. Misalnya, kasus
Ambon yang sering kali diisukan sebagai pertikaian anatara dua kelompok agama
meskipun isu ini belum tentu benar. Akan tetapi isu Agama adalah salah satu isu
yang mudah menciptakan konflik. Salah satu jalan yang dapat mengurangi resiko
konflik atar agama, perlunya diciptakan tradisi saling menghormati antara
agama-agama yang ada[2]. Menghormati berarti mengakui secara positif dalam
agama dan kepercayaan orang lain juga mampu belajar satu sama lain. Sikap
saling menghormati dan menghargai perbedaan memungkinkan penganut agama-agama
yang berbeda bersama-sama berjuang demi pembanguna yang sesuai dengan martabat
yang diterima manusia dari Tuhan.
c .
Kebudayaan
Kebudayaan
adalah pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang isinya adalah
perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan
oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang
dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dalam
bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang
dihadapi. Intinya adalah kebudayaan merupakam patokan nilai-nilai etika dan
moral, baik yang tergolong sebagai ideal atau yang seharusnya (world view)
maupun yang operasional dan aktual di dalam kehidupan sehari-hari (ethos).
Seperti
banyaknya suku bangsa yang dimiliki nusantara, demikian pula dengan kebudayaan.
Terdapat ratusan kebudayaan bangsa indonesia yang membentuk identitas
nasionalnya sebagai bangsa yang dilahirkan dengan kemajemukan identitasnya.
d .
Bahasa
Bahasa
merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain. Bahasa dipahami sistem
perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia
dan digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia. Di Indonesia terdapat
beragam bahasa daerah yang mewakili banyaknya suku-suku bangsa atau etnis.
Setelah
kemerdekaan, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional. Bahasa
Indonesia dahulu dikenal dengan sebutan bahasa melayu yang merupakan bahasa
penghubung (linguafranca) berbagai etnis yang mendiami kepulauan nusantara.
Selain menjadi bahasa komunikasi diantara suku-suku di nusantara, bahasa melayu
juga menempati posisi bahasa transaksi perdagangan internasional dikawasan
kepulauan nusantara yang digunakan oleh berbagai suku bangsa Indonesia dengan
para pedagang asing.
Pada tahun 1928
bahasa Melayu mengalami perkembangan yang luar biasa. Pada tahun tersebut,
melalui peristiwa Sumpah Pemuda Indonesia, para tokoh pemuda dari berbagai
latar belakang suku dan kebudayaan merupakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan bangsa Indonesia.
C.
Pancasila
Sebagai Kepribadian Dan Identitas Nasional
Bangsa
Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat internasional, memiliki
sejarah serta prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di
dunia. Tatkala bangsa Indonesia berkembang menuju fase nasionalisme modern,
diletakkanlah prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai suatu asas dalam hidup
berbangsa dan bernegara. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri
bangsa, yang diangkat dari filsafat hidup atau pandangan hidup bangsa Indonesia
, yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat negara
yaitu Pancasila. Jadi dasar filsafat suatu bangsa dan negara berakar pada
pandangan hidup yang bersumber kepada kepribadiannya sendiri. Hal ini menurut
Titus dikemukakan bahwa salah satu fungsi filsafat adalah kedudukannya sebagai
suatu pandangan hidup masyarakat..
Dapat pula dikatakan bahwa pancasila
sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Indonesia pada hakekatnya bersumber
kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
sebagai kepribadian bangsa. Jadi filsafat Pancasila ini bukan muncul secara
tiba-tiba dan dipaksakan oleh suatu rezim atau penguasa melainkan suatu fase
historis yang cukup panjang. Pancasila sebelum dirumuskan secara formal yudiris
dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar filsafat Negara Indonesia,
nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia, dalam kehidupan sehari-hari
sebagai suatu pandangan hidup, sehingga materi Pancasila yang berupa
nilai-nilai tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri. Dalam
pengertian seperti ini menurut Notonegoro bangsa Indonesia adalah sebagai kausa
materialis Pancasila. Nilai-nilai tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan
secara formal oleh para pendiri negara untuk dijadikan sebagai dasar Negara
Republik Indonesia. Proses perumusan materi Pancasila secara formal tersebut
dilakukan dalam sidang-sidang BPUPKI pertama, sidang “Panitia 9”, sidang BPUPKI
kedua, serta akirnya disyahkan secara formal yudiris sebagai dasar filsafat
Negara Republik Indonesia.
Nilai-nilai esensial yang terkandung
dalam Pancasila yaitu : Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan, dalam kenyataannya secara
objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum
mendirikan negara. Dasar-dasar pembentukan nasionalisme modern menurut Yamin
dirintis oleh para pejuang kemerdekaan bangsa, antara lain rintisan yang
dilakukan oleh para tokoh pejuang kebangkitan nasional pada tahun 1908,
kemudian dicetuskan pada Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Akhirnya titik
kulminasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk menemukan identitas nasionalnya
sendiri, membentuk suatu bangsa dan negara Indonesia tercapai pada tanggal 17
Agustus 1945, yang kemudian diproklamasikan sebagai suatu kemerdekaan bangsa
Indonesia. Oleh karena itu akar-akar nasionalisme Indonesia yang berkembang
dalam perspektif sejarah sekaligus juga merupakan unsur-unsur identitas
nasional, yaitu nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah
terbentuknya bangsa Indonesia.
D. Keberadaan Pancasila Sebagai Identitas
Nasional Pada Era Reformasi Dan Globalisasi
1 .
Era
Reformasi
Dalam
era reformasi bangsa Indonesia harus memiliki visi dan pandangan hidup yang
kuat (nasionalisme) agar tidak terombang-ambing di tengah masyarakat
internasional. Hal ini dapat terlaksana dengan kesadaran berbangsa yang berakar
pada sejarah bangsa.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejalan dengan
tibanya era reformasi, Pancasila mulai diabaikan. Bahkan, hampir tidak
disebut-sebut lagi dalam pidato para pejabat. Pendidikan Moral Panacsila (PMP)
yang selama ini diterapkan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
dihapus. Ini semua disebabkan oleh
semacam “kejengkelan” terhadap rezim Orde Baru yang telah memperalat Pancasila
guna mempertahankan kekuasaannya yang otoriter.
Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang dimaksudkan untuk mensosialisasikan
Pancasila dan nilai-nilainya di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara telah berubah menjadi sesuatu yang indoktrinatif dan doktriner.
Dengan demikian, Pancasila lalu menjadi kaku. Terlebih lagi ketika yang
diajarkan itu tidak cocok dengan peri-kehidupan sehari-hari. Bukanlah sebuah
hal yang tidak lazim, bahwa justru nilai-nilai Pancasila itu sendiri telah
dilanggar di dalam penyelenggaraan P4 pada waktu itu, tegas Pdt. Yewangoe.
Lebih lanjut Pdt. Yewangoe menuturkan, pengalamannya
ketika mengikuti penataran P4 tingkat nasional, di mana telah mengusik rasa
tidak enak pada waktu itu. Rupanya telah disediakan, oleh “orang dalam”
pidato-pidato. Jadi yang dapat diperoleh dengan imbalan seperlunya, sehingga
orang tidak perlu menulisnya lagi. Maka tidak heran, diskusi Pancasila yang
mestinya dinamis telah berubah menjadi sesuatu yang sangat membosankan. Ketika
P4 dipakai hanya sebagai jembatan kenaikan pangkat bagi PNS, maka segala macam
jalan ditempuh untuk memperoleh sertifikat.
Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila akhirnya gagal diwujudkan dalam kenyataan. Pancasila cenderung ditingggalkan. Tentu saja hal ini menyedihkan. Sebab meninggalkan Pancasila sama dengan menanggalkan identitas Indonesia. Pancasila adalah Indonesia dan sebaliknya Indonesia adalah Pancasila. Di dalam Pancasilalah rasa dan semangat kebangsaan kita direfleksikan. Kalau tidak ada lagi, maka dengan sendirinya elan kebangsaan mati. Sama seperti pelita kehabisan minyak, demikian juga Indonesia. Indonesia yang majemuk akan pecah berantakan. Jika menerapkan ideologi lain selain Pancasila, maka Indonesia yang kita peroleh bukan lagi yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Meski demikian, usaha Taufik Kiemas untuk menyalakan kembali nilai – nilai kesadaran berbangsa dan bernegara melalui 4 pilar kebangsaan, yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika patut diacungi jempol.
2 .
Era
Globalisasi
Globalisasi
memang sebuah keniscayaan waktu yang mau tidak mau dihadapi oleh negara manapun
di dunia. Ia mampu memberikan paksaan kepada tiap negara untuk membuka diri
terhadap pasar bebas. Hampir tiap negara mengalami hal serupa dalam era
globalisasi yang serba terbuka ini. Pihak yang diuntungkan dalam perkembangan
situasi ini tak lain adalah negara maju yang memiliki tingkat kemapanan jauh
di atas negara berkembang. Dalam
globalisasi, negara-negara berkembang mau tidak mau, suka tidak suka, harus
berinteraksi dengan negara-negara maju. Melalui interaksi inilah negara maju
pada akhirnya melakukan hegemoni dan dominasi terhadap negara-negara berkembang
dalam relasi ekonomi dan politik internasional yang dilakukannya.
Globalisasi
yang hampir menenggelamkan setiap bangsa tentunya memberikan tantangan yang mau
tidak mau harus bangsa ini taklukkan. Era keterbukaan sudah dan mulai mengakar
kuat, identitas nasional adalah barang mutlak yang harus dipegang agar tidak
ikut arus sama dan seragam yang melenyapkan warna lokal serta tradisional
bersamanya. Perlu dipahami bahwa identitas nasional, dalam hal ini Pancasila
mempunyai tugas menjadi ciri khas, pembeda bangsa kita dengan bangsa lain
selain setumpuk tugas-tugas mendasar lainnya. Pancasila bukanlah sesuatu yang
beku dan statis, Pancasila cenderung terbuka, dinamis selaras dengan keinginan
maju masyarakat penganutnya.
Implikasinya
ada pada identitas nasional kita yang terkesan terbuka, serta terus berkembang
untuk diperbaharui maknanya agar relevan dan fungsional terhadap keadaan
sekarang. Ketika globalisasi tidak disikapi dengan cepat dan tepat maka hal ia
akan mengancam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa. Globalisasi adalah
tantangan bangsa ini yang bermula dari luar, sedangkan pluralisme sebagai
tantangan dari dalam yang jika tidak disikapi secara bijak tentu berpotensi
menjadi masalah yang bisa meledak suatu saat nanti. Berhasil atau tidaknya kita
menjawab tantangan keterbukaan zaman itu tergantung dari bagaimana kita
memaknai dan menempatkan Pancasila dalam berpikir dan bertindak.
Salah
satu lokomotif globalisasi adalah teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi
ini berimplikasi pada cepatnya proses informasi dan komunikasi di seluruh
belahan dunia. Kalau dulu pernah ada slogan “dunia tak selebar daun kelor” maka
di era globalisasi slogan itu sebenarnya telah usang, karena kenyataannya
memang “dunia selebar daun kelor”, Dunia menjadi sedemikian sempit dan kecil.
Semua peristiwa yang terjadi di suatu belahan dunia dapat langsung disaksikan
detik itu juga di penjuru dunia lain, sekecil apapun kejadian itu, dari
peristiwa pemilihan presiden sampai perselingkuhan seorang wakil rakyat. Begitu
pula apa yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat dunia dapat juga
dilakukan oleh komunitas lainnya dalam model dan kualitas yang tidak berbeda.
Beberapa ciri penting (sekaligus sebagai implikasi) globalisasi adalah: Pertama,
hilangnya batas antarnegara (borderless world), maraknya terobosan
(breakthough) teknologi canggih, telekomunikasi dan transportasi, sangat
memudahkan penduduk bumi dalam beraktivitas. Dengan berdiam di rumah atau di
ruang kantor, seseorang bisa bebas selancar ke seluruh isi dunia, sampai –
sampai rencana pembunuhan pun bisa diketahui sebelumnya.
Secara
alamiah, tanah air kita memiliki tiga karakteristik utama, yaitu secara
geografis sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau dan ratusan
ribu kilometer garis pantai serta terletak pada “posisi silang” antara dua
benua dan dua samudra, memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Serta
secara demografis memiliki keanekaragaman yang sangat luas dalam berbagai
bidang dan dimensi kehidupan seperti ras/etnis,agama, bahasa, kultur, sosial,
ekonomi dan lain-lain. Faktor letak strategis dan kekayaan sumber daya alam
tadi akan semakin penting manakala aspek geoekonomi, geopolitik dan geostrategi
menjadi bahan tinjauan. 90% energi yang dibutuhkan Jepang dikapakan melalu
perairan Indonesa. 60% ekspor Austalia dikirim ke Asia melalui perairan
Indonesia. Amerika Serikat minta innocentpassage melinta dari timur ke barat di
dalam wilayah perairan territorial indonesia, bagi pemelihara hegemoni dan aksesnya
ke sumber minyak di TimurTengah, tidak heran jika banyak negara berkepentingan
terhadap kestabilan atau instabilitas indonesia yang kaya akan minyak, mineral,
hutan dan aneka ragam kekayaan laut. Oleh karenaya salah satu konsekuensi dari
ciri letak strategis dan kekayaan SDA tadi adalah masuknya berbagai pekentingan
asing ke dalam negeri kita.
Pergesekan
antar berbagai kepentingan asing tersebut selain aneka kepentingan internal /
nasional dapat dilahirkan berbagai macam konflik di Indonesia. Sedangkan secara
demografis dengan 1072 etnik yang menghuni kepulauan Indonesia serta ribuan
macam adat-budaya, ratusan macam bahasa serta sekian banyak agama yang menjadi
ciri pluriformitas bangsa,sudah barang tentu selain menyimpan berbagai macam
kekayaan budaya, juga sekaligus mengandung berbagai potensi dan sumber konflik.
Tanpa disadari sebenarnya saat ini bangsa Indonesia sedang terlibat dalam suatu
peperangan dalam kondisi terdesak hampir terkalahkan. Kita dapat saksikan
dengan kasat mata terpinggirkannya nilai-nilai luhur budaya bangsa seperti
kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, musyawarah mufakat dan digantikan oleh
individualisme, kebebasan tanpa batas, sistem one man one vote dan sebagainya.
Sebagai
suatu paradigma, Pancasila merupakan model atau pola berpikir yang mencoba
memberikan penjelasan atas kompleksitas realitas sebagai manusia personal dan
komunal dalam bentuk bangsa. Pancasila yang merupakan satuan dari sila-silanya
harus menjadi sumber nilai, kerangka berfikir, serta asas moralitas bagi pembangunan.
Pancasila itu menggambarkan Indonesia, Indonesia yang penuh dengan nuansa
plural, yang secara otomatis menggambarkan bagaiaman multikulturalnya bangsa
kita. Ideologi Pancasila hendaknya menjadi satu panduan dalam berbangsa dan
bernegara.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Melalui
pembahasan diatas, penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu :
1 .
Bahwa istilah “identitas nasional” secara
terminologis diartikan sebagai suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang
secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.
2 . Bahwa kelahiran identitas nasional suatu bangsa
dipengaruhi oleh faktor obyektif yang
meliputi faktor geografis, ekologis dan demografis dan faktor subyektif yang
meliputi faktor historis, sosial, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa
Indonesia.
3 . Bahwa pancasila dapat dikatakan sebagai
identitas nasional dan kepribadian bangsa, karena pada hakekatnya pancasila
bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan. Dimana pancasila sendiri
lahir tidak melalui pemaksaan, namun nilai – nilai tersebut digali dari
pemikiran tokoh bangsa sendiri.
4 . Bahwa pancasila pada era reformasi mengalami
kecendrungan ditinggalkan oleh masyarakatnya, mengingat pada masa orde baru,
pancasila ini disalahgunakan oleh penguasa sebagai alat untuk mempertahankan
kedudukannya. Dalam era globalisasi, nilai – nilai Pancasila yang dinamis
hendaknya berperan sebagai panduan untuk mempersatukan keanekaragaman yang ada
di Indonesia.
B.
SARAN
Berdasarkan
simpulan diatas, ada beberapa saran yang dapat penulis berikan, yaitu :
a. Kepada intutisi pendidikan : penulis
mengharapkan agar pembelajaran pancasila sebagai identitas nasional bangsa
Indonesia, tidak hanya mengedepankan teorinya semata, lebih dari itu, kami
mengharapkan intutisi pendidikan mampu mengajak masyarakat untuk mengamalkan
pancasila dalam kehidupan sehari – harinya.
b. Kepada pemerintah : pemerintah melalui dinas
terkait hendaknya terus giat untuk mengkampanyekan Pancasila sebagai identitas
nasional, serta mengharapakan pancasila tidak dipergunakan sebagai alat untuk
mempertahankan kekuasaannya seperti yang pernah terjadi pada era orde baru.
c. Kepada masyarakat : masyarakat diharapkan
menyadari bahwa pancasila itu merupakan identitas bangsa, sehingga masyarakat
memiliki kebanggaan terhadap pancasila, tidak hanya sekadar menghafal sila –
sila yang terdapat dalam Pancasila, namun lebih menekankan pada pengamalananya
dalam kehidupan sehari – hari.
2.
DAFTAR PUSTAKA
Dede Rosyada (dkk), 2003 : Pendidikan Kewarganegaraan
( Civic education ): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, Prenada
Media, Jakarta. Noor Ms Bakry, 2009 :
Pendidikan Kewarganegaraan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Winarso, S.pd.,M.Si,
2010 : Pendidikan Kewarganegaraan:Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi, Bumi
Aksara, Jakarta. Ubaidilah A dan Abdul Rozak,
Pancasila,
Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani
(Jakarta:
ICCE, 2012). Hal. 51 A.Ubaedillah, Abdul Rozak,
Pancasila.Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani.(
Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012). Hal.
120 A.Ubaedillah, Abdul Rozak,
Pancasila.Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012).
Hal.122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar